Selasa, 07 Oktober 2014

Badan dan Jiwa

Badan dan Jiwa

     Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia. Manusia tidak disebut sebagai manusia kalau ia tidak memiliki jiwa. Demikian juga ia tidak akan disebut sebagai manusia jikalau jiwa tidak ada untuk menjiwainya, dan sebaliknya jiwapun bukan manusia jikalau tanpa badan. Badan dan jiwa adalah satu kesatuan. Kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi manusia.

     Pada makhluk hidup, tubuh atau badan adalah bagian fisik materi manusia atau hewan, yang dapat dikontraskan dengan roh, sifat, dan tingkah laku. Tentu saja semua orang mengetahui apa yang dimaksud dengan badan. Jiwa adalah unsur batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi beberapa unsur, pikiran, emosi (perasaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat berpikir. Dengan perasaannya, manusia dapat mengasihi. Dengan kehendaknya, manusia dapat memilih. Kita berbeda dengan hewan, karena kita adalah makhluk hidup yang memiliki roh. Roh sendiri itu adalah prinsip kehidupan manusia.

     Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita harus paham akan badan dan jiwa? Bagaimana peranan badan dan jiwa dalam membentuk eksistensi manusia? Dua pertanyaan ini yang akan menjadi titik utama diskusi dalam paper ini. Pada paper ini saya akan menjelaskan lima bagian. Bagian pertama berisikan tentang dua aliran yang melihat kedudukan badan dan jiwa secara bertolak belakang, yakni monisme dan dualisme. Bagian kedua berisikan tanggapan sekilas terhadap kedua aliran tersebut. Bagian ketiga adalah saya akan menjelaskan hakikat badan manusia. Pada bagian keempat saya akan menjelaskan hakikat jiwa manusia. Bagian kelima merupakan kesimpulan dari semua teori tentang badan dan jiwa.

     Dalam pembahasan ini akan dijelaskan mengenai badan dan jiwa menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

  Aliran-Aliran

A. Monisme
     Monisme adalah aliran filsafat yang menolak pandangan badan dan jiwa merupakan dua unsur yang terpisah. Aliran ini menyatakan bahwa badan dan jiwa merupakan satu substansi. Keduanya merupakan kesatuan yang membentuk kepribadian manusia. Aliran ini memiliki tiga bentuk, yakni materialism, identitas, dan diealisme. Materialsme adalah teori tertua yang membicarakan hubungan badan dan jiwa, yakni menempatkan materi sebagai dasar bagi segala hal yang ada. Materi meruapakan sumber serta keterangan terdalam bagi bereksistensinya segala sesuatu. Segala hal tergantung pada materi. Bagi penganut aliran ini jiwa tidak memiliki eksistensi sendiri, jiwa bersumber dari materi. Dengan pengakuan seperti ini, eksistensi jiwa tidak bersifat ontologism bagi kaum fisikalisme, melainkan bersifat kronologis.
     Teori identitas menekankan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dinyatakan oelhe penganut materialism, bahkan mengakui apa yang disangkal oleh materialism, yaitu aktivitas mental. Bagi penganut aliran ini pernyataan mental merupaka identitas manusia. Ini membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan demikian bagi penganut teori identitas, letak perbedaan badan dan jiwa hanya pada arti, bukan pada referensi. Dengan kata lain, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang sama.
     Teori idealisme mengatakan bahwa kalau penganut materialisme meletakkan dasar segala hal pada materi, maka kaum idealis meletakkannya pada sesuatu di luar materi. Menurut aliran ini ada hal-hal serta gejala yang tidak dapat diterangkan semata berdasarkan materi, seperti pengalaman, nilai, dan makna. Secara positif dapat dikatakan, pengalaman, nilai, dan makna hanya berarti kalau dihubungkan dengan sesuatu yang immaterial. Dan sesuatu yang immaterial itu adalah jiwa.

B. Dualisme
     Dualisme adalah aliran yang mengajarkan padangan yang bertolak belakang dengan monisme. Aliran ini mengafirmasikan dualitas. Artinya, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang berbeda dan terpisah. Dan perbedaan keduanya ada dalam pengertian dan objek. Dualisme pada umumnya memiliki 4 cabang, yakni interaksionisme, okkasionalisme, paralelisme, dan epifenomenalisme.
     Interaksionisme memfoksuskan diri pada hubungan timbal balik antara badan dan jiwa.
     Okkasionalisme adalah aliran yang memasukkan dimensi ilahi dalam membicarakan hubungan badan dan jiwa, yakni hubungan antara peristiwa mental dan peristiwa fisik bisa terjadi hanya karena campur tangan Allah.
     Paralelisme adalah aliran yang mensejajarkan kejadian yang ragawi dan yang rohani. Aliran ini menyatakan bahwa kejadian ragawi terdapat di alam, sedangkan kejadian rohani terdapat dalam jiwa manusia.
     Epifenomenalisme adalah aliran yang melihat adanya hubungan badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Aliran ini menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang kita dapati untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan ialah syaraf kita. Proses kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai nyala yang berasal dari proses-proses syaraf.

Tanggapan Singkat

     Monisme dan dualisme merupakan pandangan yang bertolak belakang. Monisme meletakkan eksistensi manusia hanya pada satu dimensi, yakni dimensi badan atau dimensi jiwa. Sedangkan dualisme melihat masing-masing sebagai unsur berbeda dan terpisah.

     Tanggapan pertama di berikan kepada monoisme, khususnya materialism. Materialism menempatkan materi sebagai seumber satu-satunya. Segala aktivitas manusia merupakan ungkapan dari materi itu sendiri, bahkan aktivitas jiwa pun. Pandangan ini tentu memiliki kelemahan, karena pandangan ini bertentangan dengan hakikat manusia yang sesungguhnya. Bila kita mengacu pada pandangan Plato, jelaslah bahwa badan dan jiwa memiliki sifat yang berbeda, bahwa badan bersifat sementara, namun jiwa bersifat abadi. Jiwa tidak bisa mati, tetapi badan akan mati. Karena itu tidak mungkin sesuatu yang tidak bisa mati bersumber dari sesuatu yang bisa mati. Karena itu mereduksi jiwa pada materi merupakan kekeliruan. Kelemahan lain dari materialism ialah bahwa aliran ini tidak bisa melihat suatu pengalaman bersifat personal. Seperti, rasa sakit saat terluka. Menurut penganut fisikalisme, rasa sakit itu adalah sesuatu yang berlangsung dalam otak sang penderita yang disebabkan luka. Hal itu merupakan suatu keadaan fisik semata di otsk.

     Terhadap pandangan dualism, khususnya paralelisme, keberatan juga dapat diajukan. Klaim paralelisme bahwa badan dan jiwa merupakan dua hal yang terpisah serta memiliki kegiatan masing-masing yang tidak terkait satu sama lain juga sulit diterima. Kalau pandangan ini benar maka akan muncul berbagai pertanyaan seperti, dapatkah diterima bahwa rasa sakit pada gigi seorang karyawan tidak mempengaruhi semangat kerja? Tentu saja rasa sakit gigi yang dialami seorang karyawan akan memperngaruhi semangat kerjanya.
     Dari contoh di atas jelaslah bahwa gagasan paralelisme yang mensejajarkan aktivitas jasmani dan aktivitas rohani begitu saja tidak masuk akal. Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk manusia secara utuh. Manusia adalah badan sekaligus rohani. Manusia adalah objek dengan swig rangkap; yaitu segi fisik dan segi mental. Ia adalah makhluk “dwi-segi”. Keakuan manusia justru terjadi karena keduanya menyatu

Badan Manusia

     Badan merupakan bagian elemen mendasar dalam membentuk pribadi manusia. Badan adalah dimensi manusia yang paling nyata. Namun, apa pengertian badan itu sendiri? Bagaimana badan berperan sebagai wujud dari eksistensi manusia? Di mana letak perbedaan antara badan manusia dengan badan makhluk hidup yang lain?

     Dalam pandangan tradisional, badan hanya dilihat sebagai kumpulan berbagai material yang membentuk suatu makhluk. Mekanisme biologis yang bersifat sebab-akibat menjadi ide utama dalam pendekatan ini. Dalam pandangan ini seluruh mekanisme gerakan badan bersifat mekanistik. B.F. Skinner (1904-1990) termasuk orang yang mengakui pandangan seperti itu. Ia mengidentifikkan seluruh gerakan badan manusia dengan mesin, yang seluruh aktivitasnya terjadi karena adanya hubungan sebab-akibat terssbut.

     Namun pandangan Skinner di ats bersifat deterministic dan tidak memberikan paham yang memadai tentang keutuhan pribadi manusia. Karena itu badan harus dimengerti melebihi dimensi fisik, yaitu seluruh proses yang terjadi di dalamnya. Badan manusai tidak hanya sekedar tubuh yang nyata, dan juga bukan hanya merupakan kumpulan organ-organ tubuh. Badan menyangkut keakuan. Karena itu Gabriel Marcel (1889-1973) sangat tepat ketika mengatakan bahwa, “membicarakan tubuh sama dengan membicarakan diri.”

     Melalui aktivitas badan sesorang memperkenalkan diri pada orang lain, dan demikian sebaliknya. Itu sebabnya, ketika seseorang berjumpa dengan orang lain dalam sebuah pertemuan, ia tidak hanya bertemu dengan orang lain, tetapi bertemu juga dengan dirinya. Ia memang menatap matanya, mendengar suaranya, melihat gerakan tangannya saat bebricara. Tetapi semua aktivitas badani ini tidak bersifat lahiriah belaka, melainkan menyatakan sesuatu mendasar dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian kegiatan fisik itu mengungkapkan subjektivitas. Melihat hal ini Martin Buber (1878-1965) beralasan untuk mengatakan bahwa pertemuan antarmanusia merupakan pertemuan Aku-Engkau. Tetapi badan tidak  berfungsi sampai disitu. Badan juga menghadirkan dunia bagi manusia dan sebaliknya. Jadi, melalui badan manusia mengarahkan diri pada dunia dan memanifestasikan diri sendiri terhadap orang lain. Melalui badan manusia mengabdikan miliknya untuk membangun dunia.
     Dari uraian diatas jelaslah bahwa pengertian badan lebih luas daripada sekedar fisik, yakni seluruh proses entitas actual yang membentuk satu kepribadian manusia. Dengan demikian hakikat badan bukan pertama-tama terletak pada dimensi materialnya, melainkan dalam seluruh aktivitas yang terjadi di dalam badan. Semua aktivitas ini merupakan satu kesatuan yang membentuk jati diri manusia.

Jiwa Manusia
     Badan manusia tak memiliki arti apa-apa tanpa jiwa. Juga tidak ada kelakuan manusia kalau ia dilepaskan dari jiwanya. Itu berarti jiwa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perwujudan jati diri manusia sebagai subjek. Bagaimana kita mengerti jiwa? Apa saja kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh jiwa? Bagaimana jiwa dapat membentuk jati diri manusia?
     Dalam pandangan masyarakat tradisional jiwa diyakini sebagai makhluk halus, atau kekuatan halus, bahkan sebagai tubuh yang tidak dapat ditangkap oleh indera. Pengertian ini tidak mengungkapkan eksistensi manusia yang sebenarnya. Konsep seperti inilah yang meletakkan jiwa di luar hakikat manusia. Mari kita meninggalkan pengertian tradisional ini!
     Badan kita pahami sebagai seluruh aktivitas kompleks kegiatan fisik, demikian juga jiwa harus dipahami sebagai kompleksitas kegiatan mental manusia. Jiwa menyadarkan manusia akan siapa dirinya, menentukan perbuatanya dan menyadarkannya akan eksistensinya di tengah dunia. Dengan kata lain bahwa jiwa menjadi penggerak seluruh aktivitas fisik manusia. Intinya, aktivitas fisik tidak bisa berjalan tanpa jiwa.
     Apa sajakah kemampuan yang dimiliki oleh jiwa? James B. Pratt (1875-1944) menunjukkan bahwa ada 4 kemampuan mendasar yang dimiliki oleh jiwa, yaitu:
1. Kemampuan untuk menghasilkan kualitas-kualitas penginderaan. Bahwa kita bisa merasakan manisnya gula, kita bisa merasakan panasnya matahari, kita bisa merasakan kerasnya aspal.
2. Kemampuan menghasilkan makna yang berasal dari penginderaan khusus. Menurut Pratt, ada orang yang memiliki penginderaan khusus, seperti teleapti. Penginderaan khusus itu memampukan seseorang untuk bisa merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain dari kejauhan.
3. Kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil-hasil penginderaan dan makna dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha. Kalau Anda jalan-jalan lalu melihat orang miskin tertidur di jalan raya, dalam diri Anda pasti ada perasaan kasihan.
4. Kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses yang terjadi dalam pikiran demi kebaikan. Dalam diri manusia pasti ada keinginan, tetapi tidak semua keinginan baik. Jiwa menggerakkan untuk meninggalakan keinginan yang tidak baik. Dalam arti ini jiwa memiliki fungsi moral.
   
      Apa yang dikatakan Pratt tentang fungsi moral jiwa sebenarnya tidak jauh dari apa yang dikatakan oleh Santo Agustinus (354-430). Menurut Agustinus, manusia hanya bisa melakukan penilaian terhadap tindakannya karena dorongan dari jiwa. Bahkan eksistensi jiwa justru terungkap pada pengetahuan apa yang baik dan apa yang buruk itu.
     Kehendak merupakan aktivitas jiwa yang membuat manusia mewujudkan keinginannya. Kehendak selalu menyertai empat dorongan hati manusia, yaitu keinginan, ketakutan, dukacita, dan sukacita. Akan tetapi bagi Agustinus, manusia tidak hanya terdiri atas dorongan untuk memenuhi keinginannya, tetapi ia juga memiliki dorongan melakukan sesuatu yang lebih luhur,dorongan itu adalah cinta.
     Dari uraian diatas jelas bahwa jiwa bukanlah makhluk halus, melainkan jiwa itu adalah hidup manusia itu sendiri. Jiwa merupakan penggerak aktivitas manusia. Karena jiwa dapat merasakan sakit dalam tubuhnya, dan dapat menyadari serta menilai perbuatannya. Semua kemampuan jiwa yang diperlihatkan oleh dua tokoh di atas menunjukkan bahwa jiwa memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. Tanpa kehadiran jiwa, manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah Pratt berkata bahwa, “Jiwa adalah aku. Ia mempunyai cita-cita serta tujuan, mempunyai kehendak, yang menderita, yang berusaha, dan yang mengetahui. Aku bisa tetap bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tetap bersifat unik justru karena jiwa. Ia sadar akan waktunya, mempersatukan masa kini, masa lalu, serta melakukan pencerapan, mengingat, merasakan serta berpikir.”   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar