Badan dan Jiwa
Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia.
Manusia tidak disebut sebagai manusia kalau ia tidak memiliki jiwa. Demikian
juga ia tidak akan disebut sebagai manusia jikalau jiwa tidak ada untuk
menjiwainya, dan sebaliknya jiwapun bukan manusia jikalau tanpa badan. Badan
dan jiwa adalah satu kesatuan. Kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi
manusia.
Pada makhluk hidup, tubuh atau badan adalah bagian
fisik materi manusia atau hewan, yang dapat dikontraskan dengan roh, sifat, dan tingkah laku. Tentu
saja semua orang mengetahui apa yang dimaksud dengan badan. Jiwa adalah unsur
batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi beberapa
unsur, pikiran, emosi (perasaan) dan kehendak. Dengan pikirannya, manusia dapat
berpikir. Dengan perasaannya, manusia dapat mengasihi. Dengan kehendaknya,
manusia dapat memilih. Kita berbeda dengan hewan, karena kita adalah makhluk
hidup yang memiliki roh. Roh sendiri itu adalah prinsip kehidupan manusia.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita harus paham akan
badan dan jiwa? Bagaimana peranan badan dan jiwa dalam membentuk eksistensi
manusia? Dua pertanyaan ini yang akan menjadi titik utama diskusi dalam paper
ini. Pada paper ini saya akan menjelaskan lima bagian. Bagian pertama berisikan
tentang dua aliran yang melihat kedudukan badan dan jiwa secara bertolak
belakang, yakni monisme dan dualisme. Bagian kedua berisikan tanggapan sekilas
terhadap kedua aliran tersebut. Bagian ketiga adalah saya akan menjelaskan
hakikat badan manusia. Pada bagian keempat saya akan menjelaskan hakikat jiwa
manusia. Bagian kelima merupakan kesimpulan dari semua teori tentang badan dan
jiwa.
Dalam pembahasan ini akan dijelaskan
mengenai badan dan jiwa menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Aliran-Aliran
A.
Monisme
Monisme adalah aliran filsafat yang
menolak pandangan badan dan jiwa merupakan dua unsur yang terpisah. Aliran ini
menyatakan bahwa badan dan jiwa merupakan satu substansi. Keduanya merupakan
kesatuan yang membentuk kepribadian manusia. Aliran ini memiliki tiga bentuk,
yakni materialism, identitas, dan diealisme. Materialsme adalah teori tertua
yang membicarakan hubungan badan dan jiwa, yakni menempatkan materi sebagai
dasar bagi segala hal yang ada. Materi meruapakan sumber serta keterangan
terdalam bagi bereksistensinya segala sesuatu. Segala hal tergantung pada
materi. Bagi penganut aliran ini jiwa tidak memiliki eksistensi sendiri, jiwa
bersumber dari materi. Dengan pengakuan seperti ini, eksistensi jiwa tidak
bersifat ontologism bagi kaum fisikalisme, melainkan bersifat kronologis.
Teori identitas menekankan sesuatu yang
berbeda dengan apa yang dinyatakan oelhe penganut materialism, bahkan mengakui
apa yang disangkal oleh materialism, yaitu aktivitas mental. Bagi penganut
aliran ini pernyataan mental merupaka identitas manusia. Ini membedakan manusia
dengan makhluk lain. Dengan demikian bagi penganut teori identitas, letak
perbedaan badan dan jiwa hanya pada arti, bukan pada referensi. Dengan kata
lain, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang sama.
Teori idealisme mengatakan bahwa kalau
penganut materialisme meletakkan dasar segala hal pada materi, maka kaum
idealis meletakkannya pada sesuatu di luar materi. Menurut aliran ini ada
hal-hal serta gejala yang tidak dapat diterangkan semata berdasarkan materi,
seperti pengalaman, nilai, dan makna. Secara positif dapat dikatakan, pengalaman,
nilai, dan makna hanya berarti kalau dihubungkan dengan sesuatu yang
immaterial. Dan sesuatu yang immaterial itu adalah jiwa.
B.
Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mengajarkan
padangan yang bertolak belakang dengan monisme. Aliran ini mengafirmasikan
dualitas. Artinya, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang berbeda dan
terpisah. Dan perbedaan keduanya ada dalam pengertian dan objek. Dualisme pada umumnya
memiliki 4 cabang, yakni interaksionisme, okkasionalisme, paralelisme, dan
epifenomenalisme.
Interaksionisme memfoksuskan diri pada
hubungan timbal balik antara badan dan jiwa.
Okkasionalisme adalah aliran yang
memasukkan dimensi ilahi dalam membicarakan hubungan badan dan jiwa, yakni
hubungan antara peristiwa mental dan peristiwa fisik bisa terjadi hanya karena
campur tangan Allah.
Paralelisme adalah aliran yang
mensejajarkan kejadian yang ragawi dan yang rohani. Aliran ini menyatakan bahwa
kejadian ragawi terdapat di alam, sedangkan kejadian rohani terdapat dalam jiwa
manusia.
Epifenomenalisme adalah aliran yang
melihat adanya hubungan badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Aliran ini
menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang kita dapati untuk menyelidiki
proses-proses kejiwaan ialah syaraf kita. Proses kejiwaan seperti kesadaran
dilihat sebagai nyala yang berasal dari proses-proses syaraf.
Tanggapan Singkat
Monisme dan dualisme merupakan pandangan
yang bertolak belakang. Monisme meletakkan eksistensi manusia hanya pada satu
dimensi, yakni dimensi badan atau dimensi jiwa. Sedangkan dualisme melihat
masing-masing sebagai unsur berbeda dan terpisah.
Tanggapan pertama di berikan kepada
monoisme, khususnya materialism. Materialism menempatkan materi sebagai seumber
satu-satunya. Segala aktivitas manusia merupakan ungkapan dari materi itu
sendiri, bahkan aktivitas jiwa pun. Pandangan ini tentu memiliki kelemahan,
karena pandangan ini bertentangan dengan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Bila kita mengacu pada pandangan Plato, jelaslah bahwa badan dan jiwa memiliki
sifat yang berbeda, bahwa badan bersifat sementara, namun jiwa bersifat abadi.
Jiwa tidak bisa mati, tetapi badan akan mati. Karena itu tidak mungkin sesuatu
yang tidak bisa mati bersumber dari sesuatu yang bisa mati. Karena itu
mereduksi jiwa pada materi merupakan kekeliruan. Kelemahan lain dari
materialism ialah bahwa aliran ini tidak bisa melihat suatu pengalaman bersifat
personal. Seperti, rasa sakit saat terluka. Menurut penganut fisikalisme, rasa
sakit itu adalah sesuatu yang berlangsung dalam otak sang penderita yang
disebabkan luka. Hal itu merupakan suatu keadaan fisik semata di otsk.
Terhadap pandangan dualism, khususnya
paralelisme, keberatan juga dapat diajukan. Klaim paralelisme bahwa badan dan
jiwa merupakan dua hal yang terpisah serta memiliki kegiatan masing-masing yang
tidak terkait satu sama lain juga sulit diterima. Kalau pandangan ini benar
maka akan muncul berbagai pertanyaan seperti, dapatkah diterima bahwa rasa
sakit pada gigi seorang karyawan tidak mempengaruhi semangat kerja? Tentu saja
rasa sakit gigi yang dialami seorang karyawan akan memperngaruhi semangat
kerjanya.
Dari contoh di atas jelaslah bahwa gagasan
paralelisme yang mensejajarkan aktivitas jasmani dan aktivitas rohani begitu
saja tidak masuk akal. Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk
manusia secara utuh. Manusia adalah badan sekaligus rohani. Manusia adalah
objek dengan swig rangkap; yaitu segi fisik dan segi mental. Ia adalah makhluk
“dwi-segi”. Keakuan manusia justru terjadi karena keduanya menyatu
Badan Manusia
Badan merupakan bagian elemen mendasar
dalam membentuk pribadi manusia. Badan adalah dimensi manusia yang paling
nyata. Namun, apa pengertian badan itu sendiri? Bagaimana badan berperan
sebagai wujud dari eksistensi manusia? Di mana letak perbedaan antara badan
manusia dengan badan makhluk hidup yang lain?
Dalam pandangan tradisional, badan hanya
dilihat sebagai kumpulan berbagai material yang membentuk suatu makhluk.
Mekanisme biologis yang bersifat sebab-akibat menjadi ide utama dalam
pendekatan ini. Dalam pandangan ini seluruh mekanisme gerakan badan bersifat
mekanistik. B.F. Skinner (1904-1990) termasuk orang yang mengakui pandangan
seperti itu. Ia mengidentifikkan seluruh gerakan badan manusia dengan mesin,
yang seluruh aktivitasnya terjadi karena adanya hubungan sebab-akibat terssbut.
Namun pandangan Skinner di ats bersifat
deterministic dan tidak memberikan paham yang memadai tentang keutuhan pribadi
manusia. Karena itu badan harus dimengerti melebihi dimensi fisik, yaitu
seluruh proses yang terjadi di dalamnya. Badan manusai tidak hanya sekedar
tubuh yang nyata, dan juga bukan hanya merupakan kumpulan organ-organ tubuh.
Badan menyangkut keakuan. Karena itu Gabriel Marcel (1889-1973) sangat tepat
ketika mengatakan bahwa, “membicarakan tubuh sama dengan membicarakan diri.”
Melalui aktivitas badan sesorang
memperkenalkan diri pada orang lain, dan demikian sebaliknya. Itu sebabnya,
ketika seseorang berjumpa dengan orang lain dalam sebuah pertemuan, ia tidak
hanya bertemu dengan orang lain, tetapi bertemu juga dengan dirinya. Ia memang
menatap matanya, mendengar suaranya, melihat gerakan tangannya saat bebricara.
Tetapi semua aktivitas badani ini tidak bersifat lahiriah belaka, melainkan
menyatakan sesuatu mendasar dari orang yang bersangkutan. Dengan demikian
kegiatan fisik itu mengungkapkan subjektivitas. Melihat hal ini Martin Buber
(1878-1965) beralasan untuk mengatakan bahwa pertemuan antarmanusia merupakan
pertemuan Aku-Engkau. Tetapi badan tidak
berfungsi sampai disitu. Badan juga menghadirkan dunia bagi manusia dan
sebaliknya. Jadi, melalui badan manusia mengarahkan diri pada dunia dan
memanifestasikan diri sendiri terhadap orang lain. Melalui badan manusia
mengabdikan miliknya untuk membangun dunia.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa
pengertian badan lebih luas daripada sekedar fisik, yakni seluruh proses
entitas actual yang membentuk satu kepribadian manusia. Dengan demikian hakikat
badan bukan pertama-tama terletak pada dimensi materialnya, melainkan dalam
seluruh aktivitas yang terjadi di dalam badan. Semua aktivitas ini merupakan
satu kesatuan yang membentuk jati diri manusia.
Jiwa
Manusia
Badan manusia tak memiliki arti apa-apa
tanpa jiwa. Juga tidak ada kelakuan manusia kalau ia dilepaskan dari jiwanya.
Itu berarti jiwa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perwujudan jati
diri manusia sebagai subjek. Bagaimana kita mengerti jiwa? Apa saja
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh jiwa? Bagaimana jiwa dapat membentuk
jati diri manusia?
Dalam pandangan masyarakat tradisional
jiwa diyakini sebagai makhluk halus, atau kekuatan halus, bahkan sebagai tubuh
yang tidak dapat ditangkap oleh indera. Pengertian ini tidak mengungkapkan
eksistensi manusia yang sebenarnya. Konsep seperti inilah yang meletakkan jiwa
di luar hakikat manusia. Mari kita meninggalkan pengertian tradisional ini!
Badan kita pahami sebagai seluruh
aktivitas kompleks kegiatan fisik, demikian juga jiwa harus dipahami sebagai
kompleksitas kegiatan mental manusia. Jiwa menyadarkan manusia akan siapa
dirinya, menentukan perbuatanya dan menyadarkannya akan eksistensinya di tengah
dunia. Dengan kata lain bahwa jiwa menjadi penggerak seluruh aktivitas fisik
manusia. Intinya, aktivitas fisik tidak bisa berjalan tanpa jiwa.
Apa sajakah kemampuan yang dimiliki oleh
jiwa? James B. Pratt (1875-1944) menunjukkan bahwa ada 4 kemampuan mendasar
yang dimiliki oleh jiwa, yaitu:
1.
Kemampuan untuk menghasilkan kualitas-kualitas penginderaan. Bahwa kita bisa
merasakan manisnya gula, kita bisa merasakan panasnya matahari, kita bisa merasakan
kerasnya aspal.
2.
Kemampuan menghasilkan makna yang berasal dari penginderaan khusus. Menurut
Pratt, ada orang yang memiliki penginderaan khusus, seperti teleapti.
Penginderaan khusus itu memampukan seseorang untuk bisa merasakan sesuatu yang
dirasakan oleh orang lain dari kejauhan.
3.
Kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil-hasil penginderaan dan makna
dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha. Kalau Anda jalan-jalan lalu
melihat orang miskin tertidur di jalan raya, dalam diri Anda pasti ada perasaan
kasihan.
4.
Kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses yang terjadi dalam
pikiran demi kebaikan. Dalam diri manusia pasti ada keinginan, tetapi tidak
semua keinginan baik. Jiwa menggerakkan untuk meninggalakan keinginan yang
tidak baik. Dalam arti ini jiwa memiliki fungsi moral.
Apa
yang dikatakan Pratt tentang fungsi moral jiwa sebenarnya tidak jauh dari apa
yang dikatakan oleh Santo Agustinus (354-430). Menurut Agustinus, manusia hanya
bisa melakukan penilaian terhadap tindakannya karena dorongan dari jiwa. Bahkan
eksistensi jiwa justru terungkap pada pengetahuan apa yang baik dan apa yang
buruk itu.
Kehendak merupakan aktivitas jiwa yang
membuat manusia mewujudkan keinginannya. Kehendak selalu menyertai empat dorongan
hati manusia, yaitu keinginan, ketakutan, dukacita, dan sukacita. Akan tetapi
bagi Agustinus, manusia tidak hanya terdiri atas dorongan untuk memenuhi
keinginannya, tetapi ia juga memiliki dorongan melakukan sesuatu yang lebih
luhur,dorongan itu adalah cinta.
Dari uraian diatas jelas bahwa jiwa
bukanlah makhluk halus, melainkan jiwa itu adalah hidup manusia itu sendiri.
Jiwa merupakan penggerak aktivitas manusia. Karena jiwa dapat merasakan sakit
dalam tubuhnya, dan dapat menyadari serta menilai perbuatannya. Semua kemampuan
jiwa yang diperlihatkan oleh dua tokoh di atas menunjukkan bahwa jiwa memiliki
peran vital bagi kehidupan manusia. Tanpa kehadiran jiwa, manusia tidak bisa
berbuat apa-apa. Karena itulah Pratt berkata bahwa, “Jiwa adalah aku. Ia
mempunyai cita-cita serta tujuan, mempunyai kehendak, yang menderita, yang
berusaha, dan yang mengetahui. Aku bisa tetap bertahan dalam menghadapi
perubahan-perubahan dan tetap bersifat unik justru karena jiwa. Ia sadar akan
waktunya, mempersatukan masa kini, masa lalu, serta melakukan pencerapan,
mengingat, merasakan serta berpikir.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar